Total Tayangan Halaman

Selasa, 21 Desember 2010

Terkuaknya Misteri Pembunuhan Ex-KGB di Inggris

LONDON – Sesaat setelah seorang mantan agen KGB, Alexander V. Litvinenko, diracuni di Kota London, seorang pejabat senior Rusia menyatakan bahwa Moskow telah melacak jejak para pembunuhnya sebelum Litvinenko dijemput ajal, namun hal itu diabaikan oleh aparat keamanan Inggris, demikian menurut sebuah dokumen rahasia AS yang dirilis WikiLeaks.

Pernyataan Rusia tersebut, yang dibantah oleh Inggris, agaknya menghidupkan kembali teori bahwa dinas intelijen Inggris turut berperan dalam pembunuhan tersebut, sebuah dugaan yang kala itu disuarakan oleh sebagian kalangan di Moskow untuk menampik tudingan keterlibatan Kremlin dalam pembunuhan itu.

Kawat tertanggal 26 Desember 2006 yang diberi label "rahasia" tersebut merupakan satu dari sekian banyak dokumen WikiLeaks yang mencoba memeriksa pertanyaan yang belum terjawab mengenai siapa dalang yang memerintahkan penggunaan isotop radioaktif langka, polonium 210, untuk meracuni Litvinenko dan berujung pada kematiannya pada 23 November 2006.

Rusia memproduksi polonium secara komersial, namun prosesnya dijaga ketat dan para penyelidik Inggris menyimpulkan bahwa isotop tersebut tidak mungkin dapat dengan mudah dialihkan tanpa ada campur tangan dari para petinggi.

Dalam sebuah wawancara telepon, Marina Litvinenko, janda mantan agen KGB tersebut, menyebut pernyataan Rusia "menyesatkan."

"Saat mereka mempersiapkan hal ini, mereka tidak mengira polonium akan dikenal sebagai senjata pembunuh," katanya. "Tapi, setelah 23 November, mereka membutuhkan semacam penyesatan."

Menurutnya, "Polonium tidak bisa dipergunakan tanpa ada keterlibatan para petinggi aparat keamanan."

Sebuah kawat terpisah dari Paris menyatakan bahwa setidaknya satu orang pejabat AS, Daniel Fried, tampak meragukan pernyataan Vladimir V. Putin, presiden Rusia kala itu yang kini menjabat perdana menteri, yang mengaku tidak tahu menahu dengan peristiwa-peristiwa sebelum pembunuhan yang diklaim oleh Inggris dilakukan mantan agen KGB lain, Andrei K. Lugovoi.

Lugovoi yang kini menjadi anggota parlemen Rusia membantah tudingan Inggris yang menyebut dirinya membunuh Litvinenko dengan mencampurkan polonium ke dalam teko the di sebuah hotel di Inggris tempat keduanya bertemu pada 1 November 2006.

Rusia menolak permintaan Inggris untuk mengekstradisi Lugovoi. Hubungan antara kedua negara hingga saat ini belum sepenuhnya pulih akibat kematian Litvinenko.

Dari sejumlah dokumen yang menyebutkan mengenai skandal tersebut, mungkin yang paling sensitif adalah yang mengisahkan pertemuan di Paris pada 7 Desember 2006 antara duta besar AS Henry Crumpton dan Anatoly Safonov, yang kala itu merupakan utusan khusus Putin.

Pertemuan tersebut dilakukan layaknya naskah di film-film spionase. Keduanya bertemu dalam sebuah makan malam yang "ramah tamah". Keduanya adalah agen kawakan dari dinas intelijen negara masing-masing dan kini ditugaskan untuk bekerja sama dalam upaya kontraterorisme.

Crumpton memimpin operasi CIA di Afghanistan setelah peristiwa 11 September 2001. Safonov adalah mantan pejabat tinggi KGB yang menduduki jabatan tinggi di organisasi penerus KGB, FSB. Pada dekade 1990-an, menurut keterangan Andrei Soldatov, seorang jurnalis Rusia yang baru menerbitkan studi mengenai organisasi tersebut berjudul The New Nobility.

Salah satu tugas Safonov berikutnya di tahun 2000-an adalah memimpin kelompok gabungan kontraterorisme Inggris-Rusia, yang dibubarkan setelah bekunya hubungan diplomatik yang dipicu kematian Litvinenko, kata Soldatov dalam sebuah wawancara telepon.

Menurut kawat yang bocor tersebut, "Safonov mengklaim bahwa aparat Rusia di London mengetahui dan mengikuti orang-orang yang memindahkan substansi radioaktif ke kota tersebut, tapi hanya diberitahu oleh aparat Inggris bahwa mereka sudah ada di bawah kendali sebelum Litvinenko diracun."

Tidak disebutkan siapa yang membawa zat tersebut. Komentar Safonov menegaskan dugaan Lugovoi yang kala itu menuding Litvinenko sebagai orang bayaran intelijen Inggris. Tapi, pernyataan-pernyataan Safonov agaknya dianggap para pejabat Inggris sebagai tudingan inkompetensi mengingat pemberian racun dilakukan di Inggris, di depan hidung mereka.

Jika hal itu benar, maka akan muncul tanda tanya mengenai bagaimana Inggris bereaksi kala ada mata-mata Rusia membuntuti warga negaranya di tanah mereka sendiri.

Pertanyaan mengenai orang yang memerintahkan pembunuhan itu muncul dalam bocoran dokumen yang terpisah, dan juga dilabeli "rahasia", mengenai sebuah pertemuan di Paris antara penasihat kepresidenan Perancis, Maurice Gourdailt-Montagne dan Fried, kala itu menjabat asisten menteri luar negeri untuk urusan Eropa dan Eurasia pada masa pemerintahan Bush, pada hari yang sama dengan acara makan malam dua mantan mata-mata itu.

Fried kini menjadi utusan khusus Guantanamo yang diangkat Presiden Obama dan ditugasi membujuk negara-negara lain mengambil tahanan-tahanan di penjara di Kuba.

Menurut kawat itu, pejabat Perancis tersebut menuding pembunuhan itu dilakukan "unsur-unsur jahat" dalam dinas keamanan Rusia. Tapi, Fried "menyatakan bahwa tren jangka pendek di Rusia bersifat negatif. Ia mencatat bahwa meningkatnya indikasi penyelidikan di Inggris terhadap pembunuhan Litvinenko mengarah pada keterlibatan Rusia."

"Karena mengetahui perhatian Putin terhadap rincian, Fried mempertanyakan apakah mereka bisa beroperasi di Inggris tanpa sepengetahuan Putin. Ia menganggapnya aneh dan menyebut Rusia terlalu percaya diri hingga mendekati arogan."

Sebuah kawat lain dari Kedutaan Besar AS di Madrid, bertanda "rahasia" dan tertanggal 31 Agustus 2009, mengutip sebuah artikel di surat kabar El Pais. Artikel itu menyebut Litvinenko telah memperingatkan aparat keamanan Spanyol mengenai tokoh-tokoh krimintal Rusia di Spanyol, serta memberi informasi mengenai empat tersangka anggota geng dalam sebuah pertemuan dengan para pejabat Spanyol pada Mei 2006.

Laporan tersebut menambah banyak perdebatan mengenai motif pembunuhan Litvinenko. New York Times mengungkapkan kemungkinan pembunuhan itu dilakukan untuk membalas tindakan Litvinenko yang memberi informasi mengenai mafia.

Yang menarik dalam kawat-kawat itu ada kaitannya dengan Dmitri Kovtun, seorang rekan bisnis Lugovoi yang melewati Hamburg dalam perjalanan menuju London pada 1 November dan mengaku turut hadur saat Lugovoi bertemu Litvinenko di Hotel Millenium di Distrik Mayfair, London, pada 1 November 2006.

Menurut kawat rahasia dari konsulat AS di Hamburg tertanggal 19 Desember 2006, sekitar sebulan setelah kematian Litvinenko, seorang pejabat senior kontraterorisme di Jerman, Gerhard Schindler menyebut, "Kovtun meninggalkan jejak zat plutonium di semua benda yang disentuhnuya di Hamburg."

Tapi, kawat itu menambahkan, "Para penyelidik Jerman menyimpulkan bahwa tidak terdapat sisa zat polonium di kulit atau pakaian Kovtun. Schlinder mengatakan zat itu keluar dari tubuhnya, misalnya melalui pori-porinya."

Kawat dari Hamburg itu menyebutkan bahwa tidak ada jejak polonium yang ditemukan di pesawat Germanwings yang ditumpangi Kovtun menuju London, dan aparat Jerman bersiap mengandangkan pesawat Aeroflot yang membawanya dari Moskow ke Hamburg untuk menguji sisa zat isotop. "Schindler mengatakan aparat Rusia pasti sudah mengetahui rencana Jerman, karena ‘pada saat-saat terakhir’ Aeroflot menukar pesawat," tulis kawat itu. "Menurut Schindler, Aeroflot tidak akan menerbangkan pesawat yang satunya lagi ke Jerman dalam waktu dekat."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang sopan, tidak menyinggung SARA.Copy Paste di ijinkan. Asal kalau tidak berkeberatan cantumkan linkback ke blog ini.